Tuesday, June 09, 2009

Lama Gak Nulis

Lama gak nulis di blog ini. waaaaahhh ternyata masih bisa di akses. janji deh bakal nulis lagi!

Friday, June 06, 2008

GUNUNG ES MASALAH KEUANGAN NEGARA


Sudah empat tahun berturut-turut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini disclaimer (tidak menyatakan pendapat) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. Dari sisi proses audit, opini ini adalah derajat paling rendah dari semua opini, yaitu unqualified (wajar tanpa pengecualian), qualified (wajar dengan pengecualian), adverse (tidak wajar), dan disclaimer (tidak memberikan pendapat).

Bagi pengguna laporan keuangan, atribut disclaimer ini menyiratkan bahwa laporan tersebut tidak dapat dipercaya. Terlepas dari perbedaan pendapat dan standar antara BPK dan Departemen Keuangan, sebagaimana disebut Menteri Keuangan, patut kiranya kita menganalsis lebih lanjut masalah laporan keuangan pemerintah ini. Itulah pentingnya tomography.

Laporan keuangan suatu institusi, tidak peduli seberapa besar atau kecilnya institusi, adalah cerminan dari hasil aktivitas orgasisi itu dan bagaimana cara melakukan aktivitas itu. Artinya, bila laporan suatu institusi tidak dapat dipercaya apalagi proses dan hasil yang dilakukannya. Mengutip pernyataan Ketua BPK, ada 7 hal yang menyebabkan suatu laporan auditee dinyatakan disclaimer. Yaitu: (i) keterbatasan akses pada beberapa pos, (2) kelemahan sistem akuntansi dan pelaporan, (3) belum tertibnya penempatan uang negara, (4) tidak ada inventarisasi aset serta utang piutang negara, (5) sistem teknologi informasi yang kurang andal, (6) kelemahan pengendalian internal, dan (7) ketidakpatuhan terhadap undang-undang.
Di sini bisa kita lihat bahwa masalah pada laporan keuangan ini hanyalah gunung es dari masalah pengelolaan keuangan negara. Ia mengindikasikan bahwa terdapat masalah yang lebih besar di di bawahnya. Paling tidak ada 3 masalah yang yang timbul dari laporan keuangan yang tidak baik, yaitu: pengambilan keputusan, alokasi sumber daya, dan pengukuran kinerja.

Masalah Pengambilan Keputusan
Tak terkecuali bagi manajemen negara, laporan keuangan sangat erat kaitannya dengan proses pengambilan keputusan bagi manajemen. Ia menjadi sumber informasi penting dalam penentuan kebijakan. Artinya, laporan keuangan yang akurat akan mendorong pengambilan keputusan yang akurat pula. Sebaliknya, laporan keuangan yang bermasalah akan menggiring manajemen negara mengambil keputusan yang salah juga.

Masalah ketekoran anggaran untuk subsidi adalah satu contoh betapa laporan keuangan pemerintah kita belum mampu menjadi sumber pengambilan keputusan yang tepat. Hanya karena perbedaan perlakuan pencatatan, keputusan yang diambil bisa menyesatkan.
Dalam APBN, penerimaan dari minyak dianggap sebagai penerimaan negara. Akibat perlakuan sebagai penerimaan tersebut mendorong manajemen negara dan pihak-pihak lain memandang pemerintah memiliki dana yang besar. Karena dicatat sebagai penerimaan pula maka dana ini dapat digunakan untuk program apa saja. Besarnya angka penerimaan itulah yang kemudian memicu berbagai perencanaan program yang belum tentu sangat prioritas.

Sebaliknya, subsidi minyak diperlakukan sebagai belanja negara. Akibat perlakuan itu subsidi dianggap lebih sebagai beban pemerintah. Karena sebagai beban pemerintah, maka pemerintah dapat saja mengurangi atau menambahnya.

Pengelolaan keuangan ini tentu sangat berbeda bila perlakuan pencatatan atas hasil penjualan minyak dianggap sebagai hak rakyat yang dititipkan pada negara. Sementara itu, subsidi adalah hak rakyat yang diambil oleh rakyat. Jadi, selisihnya (bila ada) baru boleh digunakan pemerintah untuk berbagai keperluan. Dengan perlakuan pencatatan ini kita bisa melihat justru pemerintah disubsidi oleh rakyat, bukan sebaliknya.

Manajemen Sumber Daya
Dalam adagium manajemen disebutkan “you can’t manage what you can’t measure”. Salah satu alat (tools) utama bagi manajemen untuk mengukur adalah laporan keuangan. Salah satu hal yang harus diukur akurat adalah sumber daya yang dimiliki dan kewajiban. digunakan untuk mengukur sumber daya yang dimiliki dan kewajiban yang harus diselesaikan. Jadi, hanya dengan laporan keuangan yang akurat alokasi sumber daya dan pemenuhan kewajiban dapat dilakukan dengan baik.

Sistem akuntansi dan pelaporan yang tidak akurat juga menimbulkan masalah pada ketepatan alokasi sumber daya. Pengelolaan cash flows pemerintah seharusnya tidak perlu seberat saat ini bila pemerintah mampu mengendalikan dana-dana yang dimilikinya.
Di saat pemerintah kebingungan mencari dana subsidi akibat kenaikan harga minya dunia, saat itu pula ada dana super besar yang sedang diparkir SBI. Konon hampir setiap daerah memiliki dana yang tersimpan di dalam bentuk SBI dengan total dana sekitar Rp 80 T. Belum lagi dana-dana yang tersimpan dalam rekening pemerintah yang tidak tertib. Dari pemeriksaan BPK juga ditemukan sekitar 33.000 rekening tidak tertib dengan nilai sekitar Rp 30 T. Artinya, dari dua masalah ini saja sudah terdapat sekitar Rp 110 T sumber daya yang tidak optimal dialokasikan. Jumlah itu lebih dari 12% APBN tahun 2008 yang sebesar Rp 894,9 T. Lagi-lagi, ini disebabkan sistem akuntansi dan pelaporan yang tidak memadai.

Bagaimana pengendalian pemerintah atas asset berbentuk tanah, gedung, kepemilikan perusahaan dan bentuk lainnya. Melihat pada pengelolaan assset yang berbentuk kas di atas, kemungkinan besar juga terdapat banyak masalah. Sudah umum kita ketahui bahwa banyak asset negara digunakan tidak sesuai peraturan termasuk hasil dari penggunaan itu yang tidak disetor ke kas negara.

Pengukuran Kinerja
Tanpa pelaporan yang baik, kita tidak dapat mengukur kinerja dengan baik. Artinya kita tidak dapat menentukan apakah pemerintah sudah menjalankan tugasnya. Lebih jauh lagi, kita juga tidak dapat menentukan apakah arah pengelolaan negara sudah pada jalur yang tepat. Ibarat sebuah pesawat, maka laporan keuangan adalah suatu indikator arah dan ketinggian. Bila indikator itu tidak dapat dipercaya maka sama saja kita menerbangkan pesawat dalam keadaan buta.

Pembenahan
Mengingat peran penting laporan keuangan tersebut, seyognya pemerintah mencanangkan program pembenahan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan negara secara serius. Pembenahan yang tidak hanya pada tataran kebijakan tapi juga sampai kepada tataran teknis dan detail. Penyempurnaan sistem, pembenahan dan pelatihan harus sampai pada staf PNS yang paling rendah dimana asal pencatatan itu dimulai.

Bila perlu program itu diperkuat dengan undang-undang yang mengatur tentang pembenahan. Undang-undang itu harus pula mengatur tentang tahapan pembenahan, institusi yang bertanggung jawab dalam pembenahan, serta sanksi bila pembenahan tidak tercapai. Semua instrumen negara harus mengikuti proses pembenahan, tidak terkecuali lembaga penegak hukum, DPR, juga BPK sendiri

Selayaknya gunung es, bukan puncaknya yang kecil yang menenggelamkan kapal tapi bongkahan besar yang ada dibawahnya. Bukan masalah laporan keuangan pemerintah yang membuat negara kita bisa hancur, tapi masalah besar yang ada dibawahnya. Sudah saatnya kita membenahi manajemen negara dimulai dari pembenahan mencatat dan melaporkan dengan baik.

Tuesday, May 13, 2008

CONTENT IS THE KING




Di dunia finansial ada satu jargon yang sangat dikenal, cash is the king. Menurut Wikipedia, istilah ini dipopulerkan pertama kali oleh Alex Spanos. Ungkapan ini menunjukkan betapa pentingnya aliran cash dalam kesehatan suatu bisnis secara keseluruhan. Artinya walapun suatu bisnis bisa saja memiliki piutang yang besar atau asset tetap yang besar, tetapi tanpa cash, bisnis itu bisa jadi secara teknis disebut bangkrut.



Beberapa hari yang lalu saya membaca satu literatur tentang bisnis di masa depan dan menemukan satu jargon yang mirip: content is the king. Sang penulis menyebutkan bahwa saat ini dan masa depan, informasi akan tersedia sedemikian berlimpah. Informasi yang di masa lalu atau saat ini harus dibeli dengan mahal pada pihak tertentu maka pada saat itu sudah mudah kita peroleh. Bahkan, kita akan mudah mendapatnya dari berbagai sumber. Banyak pihak akan berlomba-lomba menyediakan informasi murah bahkan gratis.


Nah, pada saat itu (menurut sang penulis) pihak yang memiliki content yang sangat relevan dan bermanfaat luar biasa akan memperoleh benefit yang luar biasa pula. Content dengan informasi yang umum dan mudah diperoleh menjadi tidak berharga.
Dalam lieteratur internet, content dapat berupa tulisan dalam berbagai gaya seperti jurnal, berita, cerita, artikel, essay, laporan, panduan dan lainnya. Dapat juga berupa program, audio, video, games, dan lainnya yang dapat digunakan oleh pengguna.


Dalam dunia mananajemen kita juga mengenal Steven R. Covey dengan 7 Habit-nya yang menjadi best seller secara internasional. Buku itu sudah terjual lebih dari 10 juta copy (baca: 10.000.000). Misalkan saja satu buku seharga $20, maka nilai cash yang terlibat adalah sebesar $ 200.000.000. Bila kita merujuk kepada ke jargon di dunia financial tadi, bahwa cash = king dan di sisi lain content = king, maka kita bisa tarik kesimpulan dari persamaan sederhana itu content = cash. Apakah sesederhana itu? Tentu saja tidak. Seperti juga komoditas lainnya, content tentu membutuhkan proses untuk diubah menjadi cash.


Tentu saja yang sudah pasti bahwa tidak mungkin melakukan konversi menjadi cash bila tidak ada content-nya. Proses penyediaan content ini dapat berupa tulis-menulis, riset, rangkuman, pengembangan program, syuting film, rekaman suara, dan lainnya. Nah, proses cash proses konversinya tentu lain lagi ceritanya.


Dalam tataran praktis sebenarnya kita sudah melihat banyak proses penyediaan content ini yang berhasil di-convert menjadi cash. Sebut saja, JK Rowling yang sukse dengan seri Harry Potter nya. Di Indonesia, Andrea Hirata dengan Laskar Pelangi dan best seller lainnya. Yang paling heboh, Ayat-ayat Cinta Oleh Habiburrahman El Shirazzy.


Menurut Detik.com, Ayat-Ayat Cinta ditonton oleh lebih 2 juta orang. Bila harga tiket rata-rata Rp 20 ribu, maka pemasukan dari bioskop paling tidak Rp 40 Milyar. Tentu si penulis akan memperoleh sekian persen royalty.


Dalam dunia mananajemen kita juga mengenal Steven R. Covey dengan 7 Habit-nya yang menjadi best seller secara internasional. Buku itu sudah terjual lebih dari 10 juta copy (baca: 10.000.000). Misalkan saja satu buku seharga $20, maka nilai cash yang terlibat adalah sebesar $ 200.000.000. . Jangan lupa pula, turunan dari hasil buah karyanya tersebut adalah training dan jasa konsultansi secara internasional.


Contoh lain yang fenomenal adalah bisnis online. Merebaknya program internet marketing atau affiliate marketing tidak lepas dari industry content. Dalam hal ini, situs penyedia content dan diminati banyak pengunjung akan menjadi media bisnis yang sangat menguntungkan. Salah satu pemain besar di bisnis ini, Asian Brain milik Anne Ahira, malah sudah berani pasang iklan di detik.com dengan ukuran dan posisi yang sama dengan produk PT Telkom.


Contoh-contoh di atas hanyalah segelintir men yediakan “content” kepada khalayak. Tentu saja opportunity seperti itu masih sangat terbuka lebar. So, rekans...mungkin sudah saatnya kita mulai melirik jargon ini.
Dari proses-proses penyediaan content, yang paling simple tentunya adalah menulis. Bila kita memilih menulis sebagai sarana penciptaan content, maka persamaan di atas masih dapat kita teruskan sebagai berikut.


Menulis = menciptakan content = cash = king.


(Kalo di balik: Mau jadi King? Ayo Menulis)