Tuesday, November 08, 2005

Networking Smart Bagian 3

The Five Networking Principles


Tulisan ketiga dari Seri Networking Smart ini akan membahas 2 prinsip terakhir dari 5 prinsip dalam membangun networking.

Principle 4
Repeated Interaction Encourages Cooperation


Secara umum orang-orang yang berinteraksi secara berulang-ulang cenderung akan bekerja sama dan mengembangkan hubungan yang posisitf. Mengapa demikian? Ada beberapa alasan hal itu terjadi. Salah satunya dan yang paling mendasar adalah self-interest. Orang hanya akan melakukan kerja sama apabila kepentingan pribadinya membutuhkan untuk itu.

Dalam manajemen, prinsip keempat ini dapat digunakan untuk sarana pencapaian tujuan secara lebih efektif. Prinsip ke-4 ini akan membuat tugas Anda lebih ringan. Interaksi yang berulang, misalnya, memberikan informasi tentang orang lain yang Anda butuhkan untuk bekerja lebih efektif.

Sebagai implementasi membentuk tim dari berbagai fungsi akan mendorong kinerja yang lebih tinggi. Dengan mendorong orang lain untuk berinteraksi akan mendorong kecenderungan orang untuk bekerja sama. Disini perlu diperhatikan bahwa penetapan tujuan pada tim tersebut harus diarahkan pada terciptanya kerjasama bukan kompetisi. Selanjutnya, dengan adanya tujuan bersama yang dibebankan kepada tim akan mendorong masing-masing anggota untuk memberi kontribusi.


Principle 5
It’s a Small World


Dalam sebuah penilitian di Amerika, hubungan antara satu orang dengan orang lain yang diambil secara acak dapat dipastikan tidak lebih dari 2 orang. Apa artinya? Fenomena small-world ini membuat Anda, sebenarnya, sangat dekat dengan suatu informasi, resources, atau orang-orang yang menurut Anda penting.

Dalam jejaring relasi, kita memiliki 2 lapisan hubungan. Kita menyebut setiap hubungan dari kenalan langsung sebagai “first order zone”, dan kenalan dari kenalan kita tersebut adalah “seconf order zone”. Penelitian Pool dan Kochen menyebutkan bahwa rata-rata profesional di Amerika punya 3,500 kontak pada first-order zone. Dengan jumlah itu, maka pada second-order zone nya akan mencapai 12.500.000 kontak (dengan asumsi tidak ada duplikasi).

Bayangkan betapa dahsyatnya jaringan yang dapat kita bangun dengan selalu menambah kontak dalam hidup kita. Max Gunther dalam The Luck Factor bahkan menyebut “luck” diciptakan dengan membentuk suatu jaringan yang luas. Gunther menyebut network sebagai jaring laba-laba (spiderweb) yang akan menangkap setiap informasi dan kesempatan yang menyentuhnya.

Jadi, buatlah spiderweb Anda dan dapatkan “luck” darinya.

Sunday, October 30, 2005

Networking Smart (Bagian 2)

The Five Networking Principles



Dalam buku Networking Smart (1994), Wayne E. Baker menyebutkan ada 5 prinsip dalam membangun networking yang efektif. Kelima prinsip tersebut akan membantu kita dalam berfikir, dan bertindak. Dalam tulisan bagian kedua ini, kita akan membahas 3 prinsip dari 5 prinsip yang dicetuskan Wayne E. Baker dalam membangun network.


Principle 1
Relationships are Fundamental Human Need

Mengapa orang membutuhkan hubungan (relationship)? Jawabnya adalah sesederhana bahwa kita memang membutuhkannya. Apa manfaat dari suatu relationship dapat kita sebut hingga puluhan bahkan ratusan, namun suatu hal mendsar yang menjadi jawabannya adalah kita memang membutuhkannya.

Seperti yang telah di bahas pada tulisan pertama bahwa, tidak ada orang seperti Robinson Crusoe pada kehidupan nyata. Setiap kita adalah bagian dari suatu mega sistem yang bernama kehidupan.

Jadi, pastikan Anda memenuhi kebutuhan mendasar ini, seperti Anda membutuhkan makan, minum dan pakaian. Riset membuktikan bahwa orang-orang yang memiliki hubungan yang luas ternyata lebih, sehat, lebih bahagia, lebih sukses dan mungkin lebih kaya daripada mereka yang sempit pergaulannya.

Demikian juga, manaajer yang memiliki network yang lebih luas dapat dipastikan memiliki pendapatan yang lebih tinggi dari manager yang tidak memilikinya. Dia juga dapat dipastikan lebih produktif daripada memiliki network terbatas.

Peganglah prinsip ini, Wayne E. Baker menyatakan dalam bukunya Networking Smart, bahwa networking adalah kunci mencapai manajemen yang efektif. Jadi tunggu apa lagi? Segeralah bangun networking seluas-luasnya.


Principle 2
People Tend to Do What is Expected of Them

Dalam sebuah research, Robert Rosenthal dan Lenore Jacobson menemukan efek “Pygmalion Effect”. Mereka memberitahu guru di sebuah sekolah dasar bahwa 20% dari anak sekolah memiliki potensi yang luar biasa dalam kecerdasan dan pertumbuhannya. Robert dan Lenore juga memberikan daftar nama dari anak-anak tersebut. Walaupun tanpa diketahui guru-guru tersebut, nama-nama murid itu sebenarnya diambil secara acak dari suatu kelas.

Setelah 8 bulan berikutnya, anak-anak yang dikategorikan sebagai anak istimewa tersebut menunjukkan pertumbuhan yang luar biasa pada IQ-nya dibanding anak-anak yang lainnya. Apakah itu suatu keajaiban? Tentu tidak. Anak-anak “istimewa” tersebut menjadi “istimewa” karena guru-gurunya mengharapkan mereka begitu dan memperlakukannya sebagai anak “istimewa” juga.

Pada hubungan kita dengan setiap orang juga berlaku pygmalion effect. Harapan positif kita terhadap seseorang akan membuat kita berlaku prositf juga terhadap mereka. Begitu juga sebaliknya.

Pygmalion effect tidak hanya berlaku pada hubungan individu – individu, tapi juga pada hubungan organisasi – organisasi.

Principle 3
People Tend to Associate with Others Like Themselves

Sebuah ungkapan dalam bahasa Inggris mengatakan “Birds of a feather flock together”. Dalam membangun network ungkapan itu kita kenal pula dengan istilah similarity priciple. Prinsip ini menyatakan bahwa orang-orang yang memiliki budaya yang sama, pendidikan, atau kepentingan akan cenderung lebih mudah membentuk suatu ikatan.

Jadi, dalam suatu situasi di mana Anda hendak membangun network carilah similarity yang mungkin ditonjolkan. Mungkin hal itu adalah asal perguruan tinggi, persamaan asal daerah, persamaan hobi, kepentingan atau samanya target yang harus dicapai. Namun perlu diingat, dalam kondisi tertentu similarity principle ini dapat pula menyebabkan masalah. Misalnya senior manager dan middle manager suatu perusahaan mungkin terisolasi satu sama lainnya karena tidak nyamannya mereka berinteraksi.

Wednesday, October 26, 2005

Networking Smart (Bagian 1)


Building Effective Network

Bagian Pertama

“Relationship determine success”

Philip B. Crosby



Sudah menjadi kodrat manusia menjadi homo socialis, yaitu manusia membutuhkan manusia lain untuk hidupnya. Sebut saja, Anda butuh ibu untuk bisa lahir dan menjadi besar. Sekarang Anda butuh tukang potong rambut atau salon untuk merapikan rambut. Di kantor, Anda butuh office boy untuk menggandakan dokumen, sebagaimana Anda juga butuh bos yang mengarahkan Anda. Intinya, tidak ada manusia yang benar-benar seperti Robinson Crusoe pada kehidupan modern saat ini.

Celakanya, sering kali kita menyadari betapa pentingnya hubungan kita dengan orang lain. Kita kerap kali lupa bahwa sebenarnya lancar tidaknya urusan kita di dunia sangat tergantung pada hubungan kita dengan manusia lain. Dalam Islam sering kali kita dengar ungkapan bahwa rahasia untuk panjang umur dan murah rezeki adalah silaturahim (hubungan sesama manusia). Kita dapat pula mengartikan silaturahim sebagai networking.

Apa yang ditulis Philip B. Crosby dalam bukunya The Eternally Successful Organization, bukanlah hal baru. Sejak abad ke 14, Rasul telah mengingatkan kita bahwa networking merupakan rahasia panjang umur dan murah rezeki. Dengan kata lain dapat kita artikan bahwa networking penentu sukses dan kebahagiaan kita dunia (tentu juga di akhirat).

Dalam dunia kerja networking tentu saja memegang peran penting, kalau bukan hal yang terpenting, dalam sukes individu maupun organisasi. Orang-orang yang memiliki kecerdasan networking (networking smart) akan selalu melihat bahwa hubungan/ relationship menjadi hal terpenting dalam pencapaian tugasnya.

Lalu networking yang seperti apa yang memberi manfaat untuk kita? Bagaimana kita mengelolanya untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya? Seri tulisan Networking Smart ini mengupas buku yang ditulis oleh Wayne E. Baker dengan judul Networking Smart (1994). Dalam seri tulisan ini akan kita bahas hal-hal mendasar dalam mengelola networking. Dengan demikian, Anda akan mampu membangun suatu networking yang memberi manfaat sebesar-besarnya bagi karir dan kehidupan. Tulisan pertama ini akan membahas mengenai Networking Territory.

Networking Territory

Dalam kedudukan kita sebagai bagian suatu organisasi kita memiliki suatu wilayah di mana terdapat berbagai hubungan didalamnya. Selanjutnya, setiap hubungan di dalamnya harus kita bangun, pelihara dan dimanfaatkan dengan efektif untuk mencapai tugas-tugas kita. Berikut adalah kuadran yang mengilustrasikan peta wilayah hubungan kita. Peta tersebut dapat kita sebut sebagai networking territory.

Apabila kita memperhatikan kuadran tersebut maka terlihat bahwa networking territory setiap orang mencakup huungan internal maupun hubungan eksternal organisasi. Ia juga meliputi hubungan level individual dan hubungan pada level group organisasi. Dengan demikian, zona networking dapat kita bagi menjadi empat bagian. Yaitu, (i) hubungan internal-personal organisasi, (ii) hubungan internal-group organisasi, (iii) hubungan external-personal organisasi, dan (iv) hubungan external-group organisasi.

Pada wilayah internal-personal, seorang network smart harus mampu membangun hubungan yang baik dengan atasan, bawahan, rekan sejawat (peer), bawahan peer, atasan peer, anggota tim, direktur dan sebagainya. Pada wilayah internal-group, seorang network smart akan membangun hubungan dengan berbagai group, team, departemen, kantor cabang, unit organisasi lainnya.

Selanjutnya, wilayah external-personal akan diisi oleh hubungan dengan contact person dari customer, supplier, petugas pajak, pemimpin serikat buruh, dan lainnya. Sedangkan pada bagian external-group terdapat hubungan-bubungan seperti dengan instansi pemerintah, kantor cabang supplier, kantor pajak, masyarakat dan seterusnya.

Sudah pasti, hanya dengan hubungan yang terbina dengan baik Anda dapat mengerjakan seluruh tugas dengan baik.

Visi seseorang terhadap networking haruslah merupakan apa yang ada saat ini maupun apa yang mungkin akan terjadi kemudian. Sebagai contoh, Anda sebagai manajer baru yang ditempatkan pada Departemen Finance dengan tugas perrtama melakukan “Teaming Up”. Hal yang pertama Anda lakukan adalah mengidentifikasi bagaimana hubungan kerja yang ada saat ini. Namun, segera setelah Anda mulai memasuki networking territory, Anda akan membangun hubungan dan pola kerja Anda sendiri.

Dalam proses tersebut Anda akan menemukan dan mempelajari bagaimana bekerja dengan lingkungan Anda. Selanjutnya, Anda juga akan perlu memperkuat pola yang sudah ada atau menghilangkannya sama sekali. Jadi, begitu memahami network territory dan cara mengelolanya Anda akan menyadari kekuatan networking pada pencapaian tugas Anda.

Thursday, September 22, 2005

Reschedulling Hutang Garuda Indonesia

Penjadwalan Ulang bukan Penghapusan Hutang

Tedy J. Sitepu*

Beberapa waktu yang lalu mengemuka usulan untuk melakukan reschedulling terhadap hutang-hutang yang dimiliki Garuda Indonesia. Menurut Menteri Perhubungan, meskipun pihaknya tidak memutuskan masalah hutang Garuda, karena yang memutuskan Meneg BUMN, tapi sebagai regulator, departemen yang dipimpinnya akan mendukung gagasan itu demi kesehatan Garuda. Upaya ini dilakukan untuk mengatasi cashflows di tahun 2006.

Melalui skema rescheduling tersebut diharapkan hutang-hutang Garuda yang jatuh tempo tahun 2006 dapat dijadwalkan kembali hingga 4 tahun ke depan. Tentunya tujuan utama langkah ini adalah menyehatkan cashflows (arus kas) perusahaan agar arus kas untuk operasi tersedia cukup aman.
Jurus rescheduling adalah satu jurus yang biasa digunakan manajemen suatu perusahaan ketika berada pada posisi terjepit dalam melakukan pembayaran hutang. Jurus ini biasa pula dilakukan bersamaan dengan persyaratan ulang (reconditioning), dan penataan ulang (restructuring).

Garuda Indonesia bukan baru kali ini mengeluarkan jurus untuk meringankan belitan hutang. Situs Kementerian BUMN melaporkan pada akhir tahun 2001, Garuda Indonesia juga telah melakukan restrukturisasi hutang sejumlah USD 1,5 milyar. Demikian pula dengan berbagai perusahaan di tanah air, issu restrukturisasi adalah hal yang umum.

Dari sisi finance, adalah wajar apabila pada suatu ketika perusahaan mengalami kesulitan cashflows lalu melakukan upaya rescheduling, reconditioning atau restrukturisasi. Namun dalam konteks dunia usaha Indonesia, perlu dilontarkan suatu pertanyaan kritis: “Apakah ini suatu tindakan darurat untuk penyehatan atau merupakan pola (baca: kebiasaan menunda/ menghindari masalah)”

Bukanlah suatu hal yang sangat tidak mungkin untuk membuat proyeksi keuangan dengan akurat sebagai dasar pemberian kredit pada perusahaan. Demikian pula tidaklah terlalu sulit untuk menilai wajar tidaknya suatu proyeksi keuangan yang diajukan pada saat permohonan kredit. Artinya, apabila prosedur proyeksi keuangan tersebut dilakukan dengan benar kondisi-kondisi kesulitan sudah dapat diprediksi. Dengan demikian antisipasi oleh berbagai pihak sudah dapat disiapkan dari jauh hari, baik antisipasi operasional perusahaan maupun antisipasi keputusan pemberian kredit. Masalahnya adalah apakah mekanisme tersebut berjalan dengan proper?

Masih segar dalam ingatan kita bagaimana repotnya bangsa ini pada saat melakukan operasi penyehatan perbankan melalui BPPN. Para pakar dan pemerhati perbankan sudah lama mensinyalir bahwa sebagian besar kredit macet adalah akibat hubungan yang tidak sehat antara Bank dan Manajemen Perusahaan. Pihak manajemen secara sadar telah mengajukan proyeksi keuangan yang tidak akurat (sering kali menyesatkan). Sementara itu pihak Bank secara sadar pula tidak mengkritisi proyeksi yang disampaikan tersebut. Dalam tataran pengelolaan perusahaan Manajemen tidak mengambil tindakan yang cukup memadai agar hutang terbayarkan. Sementara itu, Bank juga tidak mengambil tindakan yang memadai untuk membuat Manajemen melakukan hal tersebut.

Apa yang terjadi ketika proyeksi tersebut tidak tercapai? Jurus yang kemudian dikeluarkan adalah salah satu atau kombinasi dari reschedulling, reconditioning dan restructuring. Langkah ini yang paling aman bagi kedua belah pihak. Manajemen terbebas (sementara) dari belitan hutang. Sementara itu, bankir terbebas (sementara) dari kredit macet. Melalui rescheduling manajemen maupun bankir dapat menunda masalah. Dalam hal ini kesulitan ini tidak terjadi dimasa mereka menjabat. Masalah yang sebenarnya akan dirasakan oleh para pengganti pejabat-pejabat tersebut dikemudian hari.

Belajar dari pengalaman masa lalu, apa yang harus diperhatikan dalam hal rencana rescheduling hutang Garuda Indonesia tersebut. Adalah suatu keharusan untuk meyakinkan bahwa Garuda Indonesia tetap bisa beroperasi karena ia merupakan salah satu pilar transprotasi bangsa. Sementara itu, kita juga perlu meyakinkan hutang-hutang Garuda terbayarkan tepat waktu demi kesehatan dunia perbankan.

Paling tidak ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam hal ini. Pertama, manajemen harus mampu memberikan dasar yang cukup kuat untuk meminta rechedulling. Seyognyanya rescheduling diberikan hanya jika tertekannya cashflows sebagai akibat faktor di luar kendali Manajemen, bukan akibat mismanagement. Kedua, rescheduling harus di dasarkan pada rencana yang nyata dan logis, serta mampu menunjukkan kemampuan membayar di masa mendatang. Ketiga, pengawasan terhadap operasional Garuda harus dilakukan lebih ketat lagi. Diperlukan pengawas independen untuk memantau penggunaan arus kas hasil operasi perusahaan. Harus diyakinkan bahwa penggunaan hasil operasi tersebut adalah untuk kegiatan operasi dan pembayaran kembali hutang-hutang, bukan untuk kemewahan orang-orang besarnya atau manuver-manuver politik pihak-pihak tertentu.