Thursday, September 22, 2005

Reschedulling Hutang Garuda Indonesia

Penjadwalan Ulang bukan Penghapusan Hutang

Tedy J. Sitepu*

Beberapa waktu yang lalu mengemuka usulan untuk melakukan reschedulling terhadap hutang-hutang yang dimiliki Garuda Indonesia. Menurut Menteri Perhubungan, meskipun pihaknya tidak memutuskan masalah hutang Garuda, karena yang memutuskan Meneg BUMN, tapi sebagai regulator, departemen yang dipimpinnya akan mendukung gagasan itu demi kesehatan Garuda. Upaya ini dilakukan untuk mengatasi cashflows di tahun 2006.

Melalui skema rescheduling tersebut diharapkan hutang-hutang Garuda yang jatuh tempo tahun 2006 dapat dijadwalkan kembali hingga 4 tahun ke depan. Tentunya tujuan utama langkah ini adalah menyehatkan cashflows (arus kas) perusahaan agar arus kas untuk operasi tersedia cukup aman.
Jurus rescheduling adalah satu jurus yang biasa digunakan manajemen suatu perusahaan ketika berada pada posisi terjepit dalam melakukan pembayaran hutang. Jurus ini biasa pula dilakukan bersamaan dengan persyaratan ulang (reconditioning), dan penataan ulang (restructuring).

Garuda Indonesia bukan baru kali ini mengeluarkan jurus untuk meringankan belitan hutang. Situs Kementerian BUMN melaporkan pada akhir tahun 2001, Garuda Indonesia juga telah melakukan restrukturisasi hutang sejumlah USD 1,5 milyar. Demikian pula dengan berbagai perusahaan di tanah air, issu restrukturisasi adalah hal yang umum.

Dari sisi finance, adalah wajar apabila pada suatu ketika perusahaan mengalami kesulitan cashflows lalu melakukan upaya rescheduling, reconditioning atau restrukturisasi. Namun dalam konteks dunia usaha Indonesia, perlu dilontarkan suatu pertanyaan kritis: “Apakah ini suatu tindakan darurat untuk penyehatan atau merupakan pola (baca: kebiasaan menunda/ menghindari masalah)”

Bukanlah suatu hal yang sangat tidak mungkin untuk membuat proyeksi keuangan dengan akurat sebagai dasar pemberian kredit pada perusahaan. Demikian pula tidaklah terlalu sulit untuk menilai wajar tidaknya suatu proyeksi keuangan yang diajukan pada saat permohonan kredit. Artinya, apabila prosedur proyeksi keuangan tersebut dilakukan dengan benar kondisi-kondisi kesulitan sudah dapat diprediksi. Dengan demikian antisipasi oleh berbagai pihak sudah dapat disiapkan dari jauh hari, baik antisipasi operasional perusahaan maupun antisipasi keputusan pemberian kredit. Masalahnya adalah apakah mekanisme tersebut berjalan dengan proper?

Masih segar dalam ingatan kita bagaimana repotnya bangsa ini pada saat melakukan operasi penyehatan perbankan melalui BPPN. Para pakar dan pemerhati perbankan sudah lama mensinyalir bahwa sebagian besar kredit macet adalah akibat hubungan yang tidak sehat antara Bank dan Manajemen Perusahaan. Pihak manajemen secara sadar telah mengajukan proyeksi keuangan yang tidak akurat (sering kali menyesatkan). Sementara itu pihak Bank secara sadar pula tidak mengkritisi proyeksi yang disampaikan tersebut. Dalam tataran pengelolaan perusahaan Manajemen tidak mengambil tindakan yang cukup memadai agar hutang terbayarkan. Sementara itu, Bank juga tidak mengambil tindakan yang memadai untuk membuat Manajemen melakukan hal tersebut.

Apa yang terjadi ketika proyeksi tersebut tidak tercapai? Jurus yang kemudian dikeluarkan adalah salah satu atau kombinasi dari reschedulling, reconditioning dan restructuring. Langkah ini yang paling aman bagi kedua belah pihak. Manajemen terbebas (sementara) dari belitan hutang. Sementara itu, bankir terbebas (sementara) dari kredit macet. Melalui rescheduling manajemen maupun bankir dapat menunda masalah. Dalam hal ini kesulitan ini tidak terjadi dimasa mereka menjabat. Masalah yang sebenarnya akan dirasakan oleh para pengganti pejabat-pejabat tersebut dikemudian hari.

Belajar dari pengalaman masa lalu, apa yang harus diperhatikan dalam hal rencana rescheduling hutang Garuda Indonesia tersebut. Adalah suatu keharusan untuk meyakinkan bahwa Garuda Indonesia tetap bisa beroperasi karena ia merupakan salah satu pilar transprotasi bangsa. Sementara itu, kita juga perlu meyakinkan hutang-hutang Garuda terbayarkan tepat waktu demi kesehatan dunia perbankan.

Paling tidak ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam hal ini. Pertama, manajemen harus mampu memberikan dasar yang cukup kuat untuk meminta rechedulling. Seyognyanya rescheduling diberikan hanya jika tertekannya cashflows sebagai akibat faktor di luar kendali Manajemen, bukan akibat mismanagement. Kedua, rescheduling harus di dasarkan pada rencana yang nyata dan logis, serta mampu menunjukkan kemampuan membayar di masa mendatang. Ketiga, pengawasan terhadap operasional Garuda harus dilakukan lebih ketat lagi. Diperlukan pengawas independen untuk memantau penggunaan arus kas hasil operasi perusahaan. Harus diyakinkan bahwa penggunaan hasil operasi tersebut adalah untuk kegiatan operasi dan pembayaran kembali hutang-hutang, bukan untuk kemewahan orang-orang besarnya atau manuver-manuver politik pihak-pihak tertentu.