Friday, August 31, 2007

Kita Adalah Apa Yang Kita Berikan

Di waktu masa kanak-kanak, saya pernah membaca sebuah dongeng yang sangat menarik. Dongeng tersebut dari India yang menceritakan satu penggal cerita dalam perjalanan seorang raja. Begini ceritanya.

Alkisah seorang raja sedang melakukan perjalanan dari ibukota kerajaan menuju salah satu provinsinya. Perjalanan tersebut di lakukan dengan armada perahu lewat sebuah sungai yang tenang dan jernih airnya. Sebagaimana kebiasaan kerajaan masa lalu, raja ini diiringi oleh para pembantu dan dayangnya. Dan tentu saja di kawal oleh panglima dan prajurit pilihan. Di antara pembantu dan dayangnya tersebut ada dua orang yang bertugas mengipasi sang raja.

Pada saat melintasi sebuah tikungan sungai di siang hari yang terik, kisah ini terjadi. Sang raja terlihat tertidur nyenyak, panglima berada di anjungan duduk sambil mengawasi perjalanan, dan para pasukan siaga di perahu masing-masing. Dua orang pembawa kipas saling berbisik dan bercerita. ”Huh...siang terik begini betapa enaknya tidur” kata seorang. ”Betul, apalagi sambil dikipasin. Kenapa kita yang harus bertugas menjadi pembantu Raja, dan harus mengipasi beliau hingga tidur begini. Coba lihat panglima itu..dia hanya duduk saja.” Temannya menjawab lagi ”Kalau aku diberi seragam prajurit dan pedang itu, aku yakin aku bisa menjadi panglima.” Sebenarnya sang raja tidak tidur dan ia mendengar semua pembicaraan tadi. Namun ia adalah raja yang bijak sehingga tidak serta-merta menghukum kedua pembantunya itu.

Menjelang sore perahu merapat ke tepian dan seluruh rombongan bersiap untuk istirahat. Sang raja berfikir untuk menggunakan waktu ini memberi pelajaran kepada kedua pembantunya. Sementara panglima nya memberi pengarahan pada prajuritnya, sang raja memanggil kedua pembawa kipas tadi. Raja berkata, ”Aku mendengar ada suara-suara aneh ditepian sungai. Coba kalian berdua lihat apa yang membuat suara-suara itu.” Berangkatlah kedua pembawa kipas itu melihatnya dan segera kembali ke kapal.

Begitu sampai di kapal mereka berkata:”Suara-suara itu dari anak burung yang masih dalam sarangnya tuanku.” Memperoleh penjelasan itu sang raja sang raja bertanya kembali,”Ada berapa ekor?” Selanjutnya raja meminta mereka melihat kembali. Setelah turun kapal dan melihat, mereka menjawab ”Ada empat ekor baginda Raja.” Sang raja bergumam, ”Hhhhmmm, berapa yang jantan?” mereka turun kembali dan menjawab.

Raja berulangkali bertanya dan mereka berulangkali turun dan menjawab. Berapa yang jantan, berapa yang betina, apa warna bulunya, apa makanannya dan seterusnya. Setelah selesai semua, sang raja memanggil panglimanya. Kepada panglima ia bertanya hal yang sama: ”Aku mendengar ada suara-suara aneh ditepian sungai. Coba panglima lihat apa yang membuat suara-suara itu.”

Panglima turun dan melihat, setelah itu ia kembali ke perahu raja. Panglima berkata: ”Suara-suara itu dari anak burung yang masih dalam sarangnya tuanku.” Raja melanjutkan, ”Ada berapa ekor?” Panglima menjawab ”Empat ekor tuanku, 3 jantan dan 1 betina.” Raja tersenyum dan bertanya lagi, ”Apa warna bulunya?” Panglima menjawab,” Yang jantan berwara hitam dengan garis putih, yang betina warna hitam pekat.” Demikian seterusnya pertanyaan raja dapat dijawab semuanya oleh panglima hanya dengan sekali pengamatan.

Dua pembawa kipas tadi menyadari kesalahan mereka dan segera meminta ampun kepada raja. Mereka menyadari bagaimana kemampuan mereka dan kemampuan panglima. Raja tersenyum dan memaafkan mereka. Bahkan, selanjutnya mereka diberi pelatihan keprajuritan. Dalam beberapa tahun, dengan usaha keras mereka, mereka telah menjadi salah satu pejabat penting dalam pasukan sang Raja.

Apa yang menarik dari dongeng ini? Bagi saya dongeng ini menceritakan pada kita, bahwa kita adalah sebesar nilai bisa kita berikan kepada orang lain. Dalam organisasi, perusahaan, masyarakat, dan bangsa, berapa besar nilai yang kita berikan kepada mereka menentukan seberapa besar kita dihargai.
Kita adalah apa yang bisa kita berikan. Tukang service jam adalah karena ia orang yang mampu memberikan service jam. Pedagang sayur, adalah orang yang mampu menjual sayur-mayur. Fotografer adalah orang yang mampu memberikan jasa fotografi. Manajer keuangan adalah orang yang mampu mengelola keuangan. Direktur Pendanaan adalah orang yang mampu men-direct (memimpin, merencanakan, mengelola, dan mengawasi) proses pendanaan.

Kita hanya layak memperoleh sebesar apa yang bisa kita mampu berikan. Namun disisi lain, upaya meningkatkan kemampuan agar bisa memberi lebih juga adalah suatu keharusan. Setiap orang berhak memperoleh kesempatan memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi organsiasi, perusahaan, masyarakat dan bangsa. Mari berlomba memberikan yang terbaik.

Friday, August 24, 2007

Dari Alexander the Great hingga Soe Hok Gie

Catatan Minggu Ini, 24 Agustus 2007.

Minggu ini lumayan melelahkan. Tugas-tugas dari kantor menumpuk tidak karuan. Pencapaian target kinerja, reorganisasi, rekonsiliasi dan lainnya. Huffff .... cape dech. Alhamdulillah, disela-sela itu saya masih sempat baca beberapa buku dan nonton film dari TV kabel.

Ada 2 hal yang sangat penting untuk dicatat minggu ini. Yang pertama dari film tentang Alexander. Diceritakan betapa Alexander seorang raja dan panglima perang yang visioner. Bercita-cita menyatukan dunia. Dari Yunani hingga Asia, Persia, Hindia, dan Mesir. Dia membayangkan masa depan yang ingin dibangunnya adalah masa depan dimana orang-orang dari berbagai benua dan budaya saling bertemu, berdagang dan bergaul. Sungguh cita-cita yang jauh dari masanya.

Alexander mendasarkan semua peperangannya dengan mimpi itu. Tragisnya ketika kemenangan sudah sampai puncaknya ia mati. Disebut-sebut, Alexander mati dalam kesepian. Mengapa? Bukankah ia dikelilingi oleh permaisuri, para selir, panglima-panglima nya, serta tidak kurang dari 40.000 pasukannya.

Yang Kedua adalah Soe Hok Gie, dia seorang tokoh muda di jaman peralihan orde lama ke orde baru. Gie, begitu dia dipanggil akrab, sosok pemuda yang penuh visi. Dia memimpikan Indonesia sebagai negara yang demokratis, maju, rakyat yang makmur, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Sungguh cita-cita yang jauh dari masanya.

Dari buku yang berisi tulisan-tulisannya itu, Gie digambarkan juga sebagai sosok yang sangat kesepian. Ia kesepian di tengah-tengah rekan-rakan demonstrannya. Ia sepi di tengah mahsiswa-mahasiswanya. Ia kesepian ditengah teman-teman diskusi politiknya. Bahkan ketika akhir hayatnya, ia sendiri. Ia meninggal akibat gas beracun gunung Semeru.

Merenungkan 2 tokoh itu di minggu ini, mengapa orang-orang yang punya visi dan cita-cita besar itu selalu merasa sepi? Apakah mereka merasa sepi karena orang-orang terdekatnya tidak memahami mereka?

Alexander, ia melakukan perjalanan dan berperang demi visi menyatukan dunia. Hal yang dianggap mustahil oleh para panglimanya. Bagi mereka apa yang dilakukan bersama Alexander hanya suatu perang ke perang lainnya. Bagi istrinya, apa yang dilakukan Alexander hanya ingin mencari wanita-wanita lain untuk dikawini. Tidak ada yang memahaminya saat itu. Mungkin itu yang membuatnya kesepian.

Gie, ia melakukan pergerakan demi suatu Indonesia yang baru. Sementara, bagi teman-temannya itu hanya sebuah sensasi, sikap keras kepala, atau hanya sikap kritis yang tidak berdasar. Mungkin itu juga yang membuatnya kesepian.

Kadang saya juga merasa kesepian...hanya saya tidak tau apa penyebabnya. Yang jelas saya belum punya cita-cita besar seperti 2 tokoh tadi. Jadi apa ya?